PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Frozen shoulder merupakan
rasa nyeri yang mengakibatkan keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS) pada bahu.
Mungkin timbul karena adanya trauma, mungkin juga timbul secara perlahan-lahan
tanpa tanda-tanda atau riwayat trauma.Keluhan utama yang dialami adalah nyeri
dan penurunan kekuatan otot penggerak sendi bahu dan keterbatasan LGS terjadi
baik secara aktif atau pasif.Frozen shoulder secara pasti belum
diketahui penyebabnya. Namun kemungkinan terbesar penyebab dari frozen
shoulder antara lain tendinitis, rupture rotator cuff, capsulitis,
post immobilisasi lama, trauma serta diabetes mellitus. Respon
autoimmunal terhadap rusaknya jaringan lokal yang diduga menyebabkan penyakit
tersebut (Appley,1993). Capsulitis adhesive ditandai dengan adanya keterbatasan
luas gerak sendi glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif maupun pasif.Ini
adalah suatu gambaran klinis yang dapat menyertai tendonitis, infark miokard,
diabetus mellitus, fraktur immobilisasi lama, atau redukulus cervicalis (Heru P
kuntono, 2004).
Frozen shoulder juga
dapat disebabkan oleh trauma langsung pada bahu, immobilisasi atau disuse
dalam jangka waktu lama misalnya terjadi fraktur disekitar bahu yang pada fase
penyembuhannya tidak diikuti dengan gerak aktif yang dilakukan secara teratur
pada bahunya, disamping itu juga karena faktor immunologi serta hubungannya
dengan penyakit lain misalnya: Tuberkulosa paru, hemiparase,ischemic heart
desease, bronchitis kronis dan Diabetus Melitus. Diduga ini merupakan respon autoimun karena rusaknya jaringan lokal
(Appley, 1997).
Diantara beberapa faktor yang
menyebabkan frozen shoulder adalah capsulitis adhesiva. Keadaan
ini disebabkan karena suatu peradangan yang mengenai kapsul sendi dan dapat
menyebabkan perlengketan kapsul sendi dan tulang rawan, ditandai dengan nyeri
bahu yang timbul secara perlahan-lahan, nyeri yang semakin tajam, kekakuan dan
keterbatasan gerak. Pada pasien yang menderita capsulitis adhesiva
menimbulkan keluhan yang sama seperti pada penderita yang mengalami peradangan
pada jaringan disekitar sendi yang disebut dengan periarthritis, keadaan
ini biasanya timbul gejala seperti tidak bisa menyisir karena nyeri disekitar
depan samping bahu. Nyeri tersebut terasa pula saatb lengan diangkat untuk mengambil
sesuatu dari saku kemeja, ini berarti gerakan aktif dibatasi oleh nyeri. Tetapi
bila mana gerak pasif diperiksa ternyata gerakan itu terbatas karena adanya
suatu yang menahan yang disebabkan oleh perlengketan. Gangguan sendi bahu
sebagian besar didahului oleh adanya rasa nyeri, terutama rasa nyeri timbul
sewaktu menggerakan bahu, penderita takut menggerakan bahunya. Akibat
immobilisasi yang lama maka otot akan berkurang kekuatannya (Shidarta, 1984).
Aspek
fisioterapi sindroma nyeri bahu pada kondisi
frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva ini
fisioterapis berperan dalam mengurangi nyeri ,meningkatkan luas gerak sendi
(LGS) mencegah kekakuan lebih lanjut dan mengembalikan kekuatan otot serta
meningkatkan aktifitas fungsional pasien. Untuk mengatasinya banyak modalitas
fisioterapi yang dapat digunakan disini penulis mengambil modalitas fisioterapi
berupa penggunaan Short Wave Diathermy(SWD), terapi manipulasi dan
terapi latihan serta latihan fungsional.
B. Tujuan Penulisan
1.
Untuk memenuhi tugas klinik
komprehensip yang telah diberikan.
2.
Untuk mengetahui definisi dari
frozen shoulder
3.
Untuk mengetahui proses
perjalanan penyakit frozen shoulder
4.
Untuk mempelajari peran
Fisioterapi pada klien dengan frozen shoulder
5.
Untuk mengetahui pengaruh Short
Wave Diathermy terhadap nyeri sendi
bahu dalam kasus frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva.
6.
Untuk mengetahui pengaruh
Terapi Manipulasi terhadap peningkatan lingkup gerak sendi pada kasus frozen
shoulder akibat capsulitis adhesiva.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
- Deskripsi
Kasus
1. Definisi Frozen Shoulder
Istilah frozen shouder hanya
digunakan untuk penyakait yang sudah diketahui dengan baik yang ditandai dengan
nyeri dan kekakuan progresif bahu yang berlangsung 18 bulan. Proses peradangan
dari tendonitis kronis tapi perubahan-perubahan peradangan kemudian menyebar
melibatkan seluruh cuff dan capsul (Appley, 1993).
Selama peradangan berkurang
jaringan berkontraksi kapsul menempel pada kaput humeri dan guset sinovial
intra artikuler dapat hilang dengan perlengketan. Frozen merupakan kelanjutan
lesi rotator cuff, karena degenerasi yang progresif. Jika berkangsung
lama otot rotator akan tertarik serta memperlengketan serta
memperlihatkan tnada-tanda penipisan dan fibrotisasi. Keadaan lebih
lanjut, proses degenerasi diikuti erosi tuberculum humeri yang akan
menekan tendon bicep dan bursa subacromialis sehingga terjadi penebalan
dinding bursa. Frozen shoulder dapat pula terjadi karena ada penimbunan
kristal kalsium fosfat dan karbonat pada rotator cuff. Garam ini
tertimbun dalam tendon, ligamen, kapsul serta dinding pembuluh darah.
Penimbunan pertama kali ditemukan pada tendon lalu kepermukaan dan menyebar
keruang bawah bursa subdeltoid sehingga terjadi rardang bursa, terjadi
berulang-ulang karena tekiri terus-menerus menyebabkan penebalan dinding bursa,
pengentalan cairan bursa, perlengketandinding dasar dengan bursa sehingga
timbul pericapsulitis adhesive akhirnya terjadi frozen shoulder (Mayo, 2007).
Frozen shoulder dibagi 2
Klasifikasi, yaitu :
a. Primer/ idiopetik frozen shoulder
Yaitu frozen yang tidak
diketahui penyebabnya. Frozen shoulder lebih banyak terjadi pada wanita dari
pada pria dan biasanya terjadi usia lebih dari 41 tahun. Biasanya terjadi pada
lengan yang tidak digunakan dan lebih memungkinkan terjadi pada orang-orang
yang melakukan pekerjaan dengan gerakan bahu yang lama dan berulang.
b Sekunder frozen shoulder
Yaitu frozen yang diikuti
trauma yang berarati pada bahu misal fraktur, dislokasi, luka baker yang berat,
meskipun cedera ini mungkin sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya.
Kapsul
Sendi mengalami
Gambar 2. 1
Capsulitis Adhesiva Bahu Kiri Tampak dari Anterior
2.
Anatomi Fungsional Sendi Bahu (Shoulder Joint)
Secara
anatomi sendi bahu merupakan sendi peluru (ball and socket joint) yang
terdiri atas bonggol sendi dan mangkuk sendi, gambar 2. 2. Cavitas sendi
bahu sangat dangkal, sehingga memungkinkan seseorang dapat menggerakkan
lengannya secara leluasa dan melaksanakan aktifitas sehari-hari. Namun struktur
yang demikian akan menimbulkan ketidakstabilan sendi bahu dan ketidakstabilan
ini sering menimbulkan gangguan pada bahu.
Sendi bahu
merupakan sendi yang komplek pada tubuh manusia dibentuk oleh tulang-tulang
yaitu : scapula (shoulder blade),clavicula (collar bone), humerus (upper arm
bone), dan sternum. Daerah persendian bahu mencakup empat sendi,
yaitu sendi sternoclavicular, sendi glenohumeral, sendi acromioclavicular,
sendi scapulothoracal. Empat sendi tersebut bekerjasama secara secara
sinkron. Pada sendi glenohumeralsangat luas lingkup geraknya karena caput
humeri tidak masuk ke dalam mangkok karena fossa glenoidalis dangkal
(Sidharta, 1984).
Berbeda dngan
cara berpikir murni anatomis tentang gelang bahu, maka bila dipandang dari
sudut klinis praktis gelang bahu ada 5 fungsi persendian yang kompleks, yaitu:
a. Sendi Glenohumerale
Sendi glenohumeral
dibentuk oleh caput humeri yang bulat dan cavitas glenoidalisscapula
yang dangkal dan berbentuk buah per. Permukaan sendi meliputi oleh rawan hyaline,
dan cavitas glenoidalis diperdalam oleh adanya labrum glenoidale
(Snell, 1997).
Dibentuk oleh caput
humerrus dengan cavitas glenoidalisscapulae, yang diperluas dengan
adanya cartilago pada tepi cavitas glenoidalis, sehingga rongga
sendi menjadi lebih dalam. Kapsul sendi longgar sehingga memungkinkan gerakan
dengan jarak gerak yang lebih luas. Proteksi terhadap sendi tersebut
diselenggarakan oleh acromion, procecus coracoideus, dan ligamen-ligamen.
Tegangan otot diperlukan untuk mempertahankan agar caput humerus selalu
dipelihara pada cavitas glenoidalisnya.
Ligamen-ligamen yang memperkuat sendi glenohumeral
antara lain ligamenglenoidalis, ligamenhumeral tranversum, ligamencoraco
humeral dan ligamencoracoacromiale, serta kapsul sendi melekat pada cavitas
glenoidalis dan collum anatomicum humeri (Snell, 1997).
Ligament yang
memperkuat antara lain:
1) ligamentumcoraco humerale, yang membentang dari procesus
coracoideus sampai tuberculum humeri.
2) ligament coracoacromiale, yang membemtang dari procesus
coracoideus sampai acromion.
3) ligament glenohumerale, yang membentang dari tepi cavitas
glenoidalis ke colum anatobicum, dan ada 3 buah yaitu:
a) ligament gleno humerale superior, yang melewati articulatio sebelah
cranial
b) Ligament glenohumeralis medius, yang melewati articulatio
sebelah ventral.
c) Ligamentum gleno humeralis inferius, yang melewati articulation
sebelah inferius.
Bursa-bursa yang ada pada shoulder
joint:
1) Bursa otot latisimus dorsi, terletak pada tendon otot teres
mayor dan tendon latisimus dorsi.
2)
Bursa infra spinatus, terdapat pada tendon infra spinatus dan tuberositashumeri.
3) Bursa otot pectoralis mayor, terletak pada sebelah depan insersio
otot pectoralis mayor.
4) Bursa subdeltoideus, terdapat diatas tuberositas mayus
humeri dibawah otot deltoideus.
5) Bursa ligament coraco clavikularis, terletak diatas ligamentum
coracoclaviculare.
6) Bursa otot subscapularis terletak diantar sisi glenoidalis
scapulae dengan otot subscapularis.
7) Bursa subcutanea acromialis, terletak diatas acromion dibawah
kulit
Ada dua tipe dasar gerakan
tulang atau osteokinematika pada sendi glenoidal yaitu rotasi
atau gerakan berputar pada suatu aksis dan translasi merupakan
gerakan menurut garis lurus dan kedua gerakan tersebut akan menghasilkan
gerakan tertentu dalam sendi atau permukaan sendi yang disebut gerakan artrokinematika.Rotasi
tulang atau gerakan fisiologis akan menghasilkan gerakan roll-gliding di
dalam sendi dan translasi tulang menghasilkan gerakan gliding, traction
ataupun compression dalam sendi yang termasuk dalam joint play
movement (Mudatsir, 2002).
Ada dua tipe dasar gerakan
tulang atau osteokinematika adalah rotasi atau gerakan berputar
pada suatu aksis dan translasi merupakan gerakan menurut garis
lurus dan kedua gerakan tersebut akan menghasilkan gerakan tertentu dalam sendi
atau permukaan sendi yang disebut gerakan artrokinematika. Rotasi tulang
atau gerakan fisiologis akan menghasilkan gerakan roll-gliding di dalam
sendi dan translasi tulang menghasilkan gerakan gliding, traction
ataupun compression dalam sendi yang termasuk dalam joint play
movement (Mudatsir, 2002).
Gerakan arthrokinematika pada
sendi gleno humeralyaitu : (1) gerakan fleksi terjadi rollingcaput
humeri ke anterior, sliding ke posterior (2) gerakan abduksi
terjadi rollingcaput humeri ke cranio posterior, sliding
ke caudo ventral (3) gerakan eksternal rotasi terjadi rollingcaput
humeri ke dorso lateral, sliding ke ventro medial (4)
gerakan internal rotasi terjadi rollingcaput humeri ke ventro
medial dan sliding ke dorso lateral (Kapanji, 1982).
b. Sendi sterno claviculare
Dibentuk oleh extremitas
glenoidalis clavikula, dengan incisura clavicularis sterni. Menurut
bentuknya termasuk articulation sellaris, tetapi fungsionalnya glubiodea.
Diantar kedua facies articularisnya ada suatu discus articularis
sehingga lebih dapat menyesuikan kedua facies
articularisnya dan sebagai cavum srticulare. Capsula articularis
luas,sehingga kemungkinan gerakan luas.
Ligamentum yang memperkuat:
1) ligamentum interclaviculare, yang membentang diantara medial
extremitassternalis, lewat sebelah cranial incisura jugularis sterni.
2) ligamentum costoclaviculare, yang membentang diantara costae
pertama sampai permukaan bawah clavicula.
3) ligamentum sterno claviculare, yang membentang dari bagian tepi caudal
incisura clavicularis sterni, kebagian cranial extremitas sternalis
claviculare.
Gerak osteokinematika yang terjadi adalah gerak elevasi 45°
dan gerak depresi 70°, serta protraksi 30° dan retraksi 30°.
Sedangkan gerak osteokinematikanya meliputi: (1) gerak protraksi terjadi
roll clavicula kearah ventral dan slide kearah ventral,
(2) gerak retraksi terjadi roll clavicula kerah dorsal dan
slide kearah dorsal, (3) gerak elevasi terjadi roll
kearah cranial dan slide kearah caudal, gerak fleksi
shoulder 10° (sampai fleksi 90°) terjadi gerak elevasi berkisasr
4°, (4) gerak depresi terjadi roll ke arah caudal dan
slide clavicula kearah cranial.
c. Sendi acromioclaviculare
Dibentuk oleh extremitas
acromialisclavicula dengan tepi medial dari acromion scapulae.
Facies articularisnya kecil dan rata dan dilapisi oleh fibro
cartilago. Diantara facies articularis ada discus artucularis.
Secara morfologis termasuk ariculatio ellipsoidea, karena facies
articularisnya sempit, dengan ligamentum yang longgar.
Ligamentum yang memperkuatnya:
1)
ligamentacromio claiculare,
yamg membentang antara acromion dataran ventral sampai dataran caudal
clavicula.
2)
ligament coraco
clavicuculare, terdiri dari 2 ligament yaitu:
a) Ligamentum conoideum, yang membentang antara dataran medial
procecuscoracoideus sampai dataran caudal claviculare.
b) Ligamentum trapezoideus, yang membentang dari dataran lateral
procecuscoraoideus sampai dataran bawah clavicuare,
Gerak osteokinematika
sendi acromio clavicularis selalu berkaitan dengan gerak pada sendi scapulothoracalis
saat elevasi diatas kepala maka terjadi rotasi clavicula
mengitari sumbu panjangnya. Rotasi ini menyebabkan elevasi clavicula,
elevasi tersebut pada sendi sterno clavicularis kemudian 30%
berikutnya pada rotasi clavicula.
d. Sendi subacromiale
Sendi subacromiale
berada diantara arcus acromioclaviculare yang berada di sebelah cranial
dari caput serta tuberositas humeri yang ada di sebeleh caudal,
dangan bursa subacromiale yang besar bertindak sebagai rongga sendi.
e. Sendi scapulo thoracic
Sendi scapulo
thoracic bukan sendi yang sebenarnya, hanya berupa pergerakan scapula terhadap
dinding thorax [(Sri surini, dkk),2002].
Gerak osteokinematika
sendi ini meliputi gerakan kerah medial lateral yang dalam klinis
disebut down ward-up wardrotasi juga gerak kerah cranial-caudal
yang dikenal dengan gerak elevasi-depresi.
Join
play movement
adalah istilah yang digunakan pada Manipulative therapy untuk
menggambarkan apa yang terjadi didalam sendi ketika dilakukan gerakan translasi,
gerakan-gerakan tersebut dilakukan secara pasif oleh terapis pada saat
pemeriksaan maupun terapi. Ada 3 macam joint play
movement: (1). Traction/ traksi, (2). Compression/
kompresi, (3). Gliding.
1) Gliding
Gliding yaitu gerakan permukaan sendi dimana
hanya ada satu titik kontak pada satu permukaan sendi yang selalu kontak dengan
titik kontak yang baru (selalu berubah) pada permukaan sendi laannya. Arah gliding
permukaan sendi sesuai dengan hukum konkaf konvek yaitu : jika permukaan
sendi konkaf, maka arah gliding berlawanan dengan gerakan tulang.
Sedangkan bila permukaan sendi konvek maka arah gliding searah dengan
gerakan tulang. Untuk sendi bahu arah gliding berlawanan dengan arah
gerakan tulang, karena pertmukaan sendi konfek bergerak peda permukaan
sendi konkaf (caput humei dengan cavitas glenoidal).
2) Traksi
Traksi
adalah gerakan translasi tulang yang arah geraknya tegak lurus dan menjauhi
bidang terapi sehimgga terjadi peregangan sendi, biasanya dapat mengurangi
nyeri pada sendi,
3) Kompresi
Kompresi
adalah gerakan translasi tulang yang arahnyategak lurus tetapi kedua pernukaan
sendi saling mendekati, biasanya akan menimbulkan nyeri (mudatsir, 2007).
Pelaksanaan Join Play movement :
Join Play dilakukan dengan pasien pada posisi tidur
terlentang, rileks. Adapun gerakannya yaitu; backward glide of the humerus,
forward glide of the humerus, lateral distraction of the humerus, caudal glide
of the humerus, backward glide of the humerus in abduktion, lateral distraktion
of the humerus in abduktion, anterior posterior dan cepalo caudal movement the
clavicula in acromio clavicula, anterior posterior dan cepalo caudal movement
the clavicula in sterno clavicula, dan general movement of the scapula
(magee).
3. Etiologi
Etiologi dari frozen
shoulder akibat capsulitis adhesiva masih belum diketahui dengan
pasti. Adapun faktor predisposisinya antara lain periode immobilisasi yang
lama, akibat trauma, over use, injuries atau operasi pada sendi, hyperthyroidisme,
penyakit cardiovascular,clinical depression dan Parkinson.
Adapun beberapa teori
yang dikemukakan AAOS tahun 2007
mengenai frozen shoulder, teori tersebut adalah :
a. Teori hormonal.
Pada umumnya frozen
shoulder terjadi 60% pada wanita bersamaan dengan datangnya menopause.
b. Teori genetik.
Beberapa studi mempunyai
komponen genetik dari frozen shoulder, contohnya ada beberapa kasus
dimana kembar identik pasti menderita pada saat yang sama.
c. Teori auto immuno.
Diduga penyakit ini
merupakan respon auto immuno terhadap hasil-hasil rusaknya jaringan
lokal.
d. Teori postur.
Banyak studi yang belum
diyakini bahwa berdiri lama dan berpostur tegap menyebabkan pemendekan pada
salah satu ligamen bahu.
4.
Patologi
Kapsul sendi terdiri
dari selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalamnya terbentuk
dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak dan sinovium, yang
berbentuk suatu kantong yang melapisi seluruh sendi, dan membungkus
tendon-tendon yang melintasi sendi, sinovium tidak meluas melampaui
permukaan sendi tetapi terlipat sehingga memungkinkan gerakan secara penuh. Sinovium
menghasilkan cairan yang sangat kental yang membasahi permukaan sendi.
Cairan sinovium normalnya bening, tidak membeku, tidak berwarna. Jumlah
yang di permukaan sendi relative kecil (1-3 ml). Cairan sinovium juga
bertindak sebagai sumber nutrisi bagi tulang rawan sendi. Capsulitis
adhesiva merupakan kelanjutan dari lesi rotator cuff, karena terjadi
peradangan atau degenerasi yang meluas ke sekitar dan ke dalam kapsul sendi dan
mengakibatkan terjadinya reaksi fibrous. Adanya reaksi fibrous dapat
diperburuk akibat terlalu lama membiarkan lengan dalam posisi impingement yang
terlalu lama (Appley, 1993).
Sindroma nyeri bahu
sangat komplek dan sulit untuk diidentifikasi satu persatu bagian secara
detail. Guna memahami penyebab dan patologi sindroma nyeri bahu, maka dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Faktor Penyebab:
1) Faktor penyebab gerak dan fungsi, yang terkait
dengan aktifitas gerak dan struktur anatomi
2) Faktor
penyebab penyebab secara neurogenik yang berkaitan dengan keluhan neurologik
yang menyertai baik secara langsung maupun tidak langsung yang berupa nyeri
rujukan.
b. Berdasarkan sifat keluhan nyeri bahu dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu
:
(a) Kelompok spesifik, mengikuti pola kapsuler
dan
(b) Kelompok tidak spesifik sebagai kelompok yang
bukan mengikuti pola kapsuler.
5. Tanda dan gejala
a. Nyeri
Pasien berumur 40-60
tahun, dapat memiliki riwayat trauma, seringkali ringan, diikuti sakit pada
bahu dan lengan nyeri secara berangsur-angsur bertambah berat dan pasien sering
tidak dapat tidur pada sisi yang terkena. Setelah beberapa lama nyeri berkurang,
tetapi sementara itu kekakuan semakin terjadi, berlanjut terus selama 6-12
bulan setelah nyeri menghilang. Secara berangsur-angsur pasien dapat bergerak
kembali, tetapi tidak lagi normal ( Appley,1993 ).
b. Keterbatasan Lingkup gerak sendi
Capsulitis adhesive ditandai dengan adanya keterbatasan
luas gerak sendi glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif maupun
pasif. Ini adalah suatu gambaran klinis yang dapat menyertai tendinitis,
infark myokard, diabetes melitus, fraktur immobilisasi
berkepanjangan atau redikulitis cervicalis. Keadaan ini biasanya
unilateral, terjadi pada usia antara 45–60 tahun dan lebih sering pada wanita.
Nyeri dirasakan pada
daerah otot deltoideus. Bila terjadi pada malam hari sering sampai
mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kesukaran penderita
dalam mengangkat lengannya (abduksi), sehingga penderita akan melakukan
dengan mengangkat bahunya (srugging) (Heru P Kuntono,2004).
c.
Penurunan
Kekuatan otot dan Atropi otot
Pada
pemeriksaan fisik didsapat adanya kesukaran penderita dalam mengangkat
lengannya (abduksi) karena penurunan kekuatan otot. Nyeri dirasakan pada daerah
otot deltoideus, bila terjadi pada malam hari sering menggangu tidur.
Pada pemeriksaan didapatkan adanya kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya
(abduksi), sehingga penderita akan melakukandengan mengangkat bahunya (srugging).
Juga dapat dijumpai adanya atropi bahu (dalam berbagaoi tingkatan). Sedangkan
pemeriksaan neurologik biasanya dalam batas normal (Heru P Kuntono, 2004).
d. Gangguan aktifitas fungsional
Dengan
adanya beberapa tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita frozen
shoulder akibat capsulitis adhesiva seperti adanya nyeri,
keterbatasan LGS, penurunan kekuatan otot dan atropi maka secara
langsung akan mempengaruhi (mengganggu) aktifitas fungsional yang dijalaninya.
4. Komplikasi.
Pada
kondisi frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva yang berat dan
tidak dapat mendapatkan penanganan yang tepat dalam jangka waktu yang lama,
maka akan timbul problematik yang lebih berat antara lain : (1) Kekakuan sendi
bahu (2) Kecenderungan terjadinya penurunan kekuatan otot-otot bahu (3)
Potensial terjadinya deformitas pada sendi bahu (4) Atropi otot-otot
sekitar sendi bahu (5) Adanya gangguan aktifitas keseharian (AKS).
5. Diagnosis banding
Kekakuan pasca trauma
setelah setiap cedera bahu yang berat, kekakuan dapat bertahan beberapa bulan.
Pada mulanya kekurangan ini maksimal dan secara berangsur-angsur berkurang,
berbeda dengan pola bahu beku ( Appley,1993)
Kondisi pembanding dari
kondisi Frozen shoulder yang diakibatkan capsulitis adhesiva antara lain: 1) Bursitis
subacromial, 2) Tendinitis bicipitalis 3) Lesi rotator cuff
B.
Problematika
Fisioterapi.
Adapun berbagai macam gangguan yang ditimbulkan dari
frozen shoulder adalah sebagai berikut :
1. Impairment.
Pada kasus frozen shoulder akibat capsulitis
adhesiva permasalahan yang ditimbulkan antara lain adanya nyeri pada bahu,
keterbatasan lingkup gerak sendi dan penurunan kekuatan otot di sekitar bahu.
2. Functional limitation.
Masalah-masalah yang sering ditemui pada kondisi-kondisi
frozen shoulder adalah keterbatasan gerak dan nyeri, oleh karena itu
dalam keseharian sering ditemukan keluhan-keluhan seperti tidak mampu untuk
menggosok punggung saat mandi, menyisir rambut, kesulitan dalam berpakaian,
mengambil dompet dari saku belakang kesulitan memakai breast holder
(BH) bagi wanita dan gerakan-gerakan
lain yang melibatkan sendi bahu (Appley, 1993).
3. Participation restriction.
Pasien yang mengalami frozen shoulderakan
menemukan hambatan untuk melakukan aktifitas sosial masyarakat karena
keadaannya, hal ini menyebabkan pasien tersebut tidak percaya diri dan merasa
kurang berguna dalam masyarakat, tapi pada umumnya frozen shoulder
jarang menimbulkan disability atau kecacatan.
C.
Teknologi Interfensi
Fisioterapi
1. Diatermi gelombang pendek (Short
Wave Diathermy/ SWD)
Short wave diathermy
merupakan suatu pengobatan dengan menggunakan stressor berupa energi
elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak- balik frekuensi
27, 12 MHz, dengan panjang gelombang 11m.
Efektifitas dalam penggunaan SWD ditentukan oleh
penentuan intensitas dan dosis.Intensitas ditentukan oleh perasaan penderita
terhadap panas yang diterimanya. Besar kecilnya intensitas bersifat subjektif
tergantung sensasi panas yang diterima pasien oleh karena itu antara orang satu
dengan lainnya mungkin bisa berbeda intensitas SWD yang diberikan . Menurut
schliphake, intensitas dibagi menjadi empat tingkat yaitu : (a) Intensitas submitis
(penderita tidak merasakan panas), (b) Intensitas mitis (penderita
merasakan sedikit panas), (c) Intensitas normalis (penderita merasakan hangat
yang nyaman), (d) Intensitas fortis (Penderita merasakan panas yang
kuat, tapi masih bisa ditahan).
Tujuan terapi panas yang
dihasilkan pada pemberian SWD ini adalah:
a) Mengurangi nyeri
Adanya gejala nyeri
menunjukkan dalam keadaan tidak normal. Jaringan tersebut merupakan sumber
nyeri, keadaan yang tidak normal tadi memberikan iritasi kepada reseptor nyeri.
Stimulus tadi selanjutnya akan dihantarkan oleh serabut “C” tanpa myelin
(nyeri tumpul, lamban, diffuse) atau serabut “A” delta bermielin
(nyeri tajam, cepat). Panas yang diberikan akan memberikan efek sedative karena
adanya kenaikan nilai ambang nyeri.karena adanya vasodilatasi akan
memperlancar pembuangan zat “pain producing substance” (Sri Mardiman,
1989).
b) Memberikan relaksasi otot- otot spasme
Nyeri bahu akan merangsang
reaksi protektif dari tubuh berupa spasme otot- otot sekitar bahu. Ini
dimaksudkan untuk memfiksir sendi bahu agar tidak bergerak, yang selanjutnya
akan terhindar rasa nyeri. Reaksi spasme itu sendiri akan menghambat sistem
peredaran darah setempat yang mengakibatkan terhambatnya reorgnisasi jaringan
dan “pain producing substance”. Hal ini akan menambah nyeri, sehingga
siklus yang tidak menguntungkan, sel-sel abnormal yang menyebabkan bengkak dan
nyeri oleh pengaruh medan magnit yang ditimbukan oleh gelombang pulsa SWD,
sel-sel abnormal dapat dinormalkan (Sri Mardiman, 1989).
Syarat-syarat untuk menentukan
indikasi pemberian terapi dengan SWD:
1) Stadium dari penyembuhan luka
2) Sifat dari jaringan atau organ yang
mengalami kerusakan
3) Lokalisasi dari jaringan/ organ yang
mengalami kerusakan
2.
Terapi Manipulasi
Terapi manipulasi adalah
suatu gerakan pasif yang digerakkan dengan tiba- tiba, amplitude kecil dan
kecepatan yang tinggi, sehingga pasien tidak mampu menghentika gerakan yang terjadi ( Mudatsir, 2007 ).
Tujuan mobilisasi sendi adalah
untuk mengembalikan fungsi sendi normal dan tanpa nyeri. Secara mekanis,
tujuannya adalah untuk memperbaiki joint play movement dan dengan
demikian memperbaiki roll-gliding yang terjadi selama gerakan aktif.
Terapi manipulasi harus diakhiri apabila sendi telah mencapai LGS maksimal
tanpa nyeri dan pasien dapat melakukan gerakan aktif dengan normal (Heru P Kuntono, 2007).
Gerakan translasi (traksi
dan gliding) dibagi menjadi tiga gradasi. Gradasi gerakan ini ditentukan
berdasarkan tingkat kekendoran (slack) sendi yang dirasakan fisioterapis
saat melakukan gerakan pasif seperti yang ditunjukkan pada Grade I
Grade I traksi merupakan gerakan dengan amplitudo sangat kecil
sehingga tidak sampai terasa adanya geseran permukaan sendi. Kekuatan gaya
tarik yang diberikan sebatas cukup untuk menetralisir gaya kompresi yang
bekerja pada sendi.
Kombinasi antara tegangan otot, gaya kohevisitas kedua permukaan
sendi dan tekiri atmosfer menghasilkan gaya kompresi pada sendi.
Grade II traksi dan gliding gerakan sampai terjadi slack
taken up jaringan di sekitar persendian meregang.
Grade III traksi dan gerakan sampai diperoleh slack taken up
kemudian diberi gaya lebih besar lagi sehingga jaringan di sekitar persendian
teregang.
Traksi untuk
memperbaiki luas gerak sendi:
Traksi mobilisasi grade III efektif untuk memperbaiki mobilitas sendi karena dapat meregang (streatch)
jaringan lunak sekitar persendian yang memendek. Traksi-mobilisasi
dipertahamkan selama 7 detik atau lebih dengan kekuatan maksimal sesuai dengan
toleransi pasien. Antara dua traksi yang dilakukan, traksi tidak
perlu dilepaskan total keposisi awal melainkan cukup diturunkan kegrade II
dan kemudian lakukan traksi grade III lagi. (Mudatsir S, 2002).
2. Terapi Latihan.
Adapun metode yang digunakan
adalah :
a.
Active exercise
Latihan aktif disini bertujuan untuk menjaga serta
menambah lingkup gerak sendi (LGS).Disini penulis memberikan latihan dengan
menggunakan metode free active exercise.Gerakan dilakukan oleh kekuatan
otot penderita itu sendiri dengan tidak menggunakan suatu bantuan dan tahanan
yang berasal dari luar.Latihan ini bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun
penderita berada.
b.
Overhead pulley
Tujuan dari pemberian overhead pulley adalah
untuk menambah lingkup gerak sendi dan meningkatkan nilai kekuatan otot dengan
bantuan alat ini. Dengan adanya gerakan yang berulang-ulang maka akan terjadi
penambahan lingkup gerak sendi serta menjaga dan menambah kekuatan otot jika
diberi beban (Kisner, 1996).
c.
Codman pendulum exercis.
Codman pendulumexercise dilakukan pada stadium akut.
1) Tujuan :
Untuk mencegah perlengketan
pada sendi bahu dengan melakukan gerakan pasif sedini mungkin yang dilakukan
pasien secara aktif.
Gerakan pasif dilakukan untuk
mempertahankan pergerakan pada sendi & mencegah pelengketan permukaan
sendi. Sedangkan pencegahan gerakan aktif adalah untuk mencegah terjadinya
kontraksi otot- otot rotator cuff & abductor bahu
2) Cara melakukan:
Pasien
membungkukkan badan dan lengan yang
sakit tergantung vertical. Posisi ini menyebabkan lengan fleksi 90۫ pada bahu tanpa adanya kontraksi otot- otot
deltoid maupun rotator cuff. Gravitasi / gaya tarik bumi menyebabkan
pemisahan permukaan sendi glenohumeral sehingga kapsul sendi tersebut
akan memanjang. Lutut pasien dalam keadaan fleksi untuk mencegah
timbulnya gangguan pada pinggang.
BAB III
PENATALAKSANAAN
STUDI KASUS
Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, seorang fisioterapis seharusnya
selalu memulai dengan melakukan “Assessment” yang terdiri dari
pengumpulan data, pengelompokan data, interpretasi data, pemeriksaan dasar,
pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan lain yang diperlukan untuk mendukung dalam
pelaksanaan pemecahan masalah.
Sehubungan dengan kondisi frozen shoulder akibat capsulitis
adhesiva dextra di RST Dr.Soedjono, Magelang,
maka pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
A.
Pengkajian Fisioterapi
Proses pemeriksaan fisioterapi dimulai dari anamnesis,
pemeriksaan dan dilanjutkan dengan menentulkan diagnosis fisioterapi.
1.
Anamnesis.
a.
Anamnesis umum.
Anamnesis umum memuat tentang identitas pasien, dan
disini hanya memberikan informasi tentang siapakah pasien, memberikan gambaran
orang seperti apa yang kita ajak bicara, serta masalah apa yang mungkin ada.
1) Identitas pasien
Pasien dengan nama Ny suprapti,
umur 62 tahun, jenis kelamin Perempuan Agama Islam. Pekerjaan sebagai seorang Guru
SMA, alamat jalan Blimbing No 5 Kalinegoro mertoyudan, Magelang.
b. Anamnesis khusus.
Didalam anamnesa khusus ini,
hal-hal atau keterangan yang di dapat digali dari pasien meliputi :
1) Keluhan utama.
Keluhan
utama yang dirasakan pasien ini adalah pasien merasakan kaku pada bahu Kiri
terutama saat lengannya digerakkan ke segala arah.
2) Riwayat penyakit sekarang.
Kira kira 2 bulan yang lalu pasien mengeluhkan sakit
pada bahu sebelah kiri, kemudian pasien memeriksakan ke RST. Dr. soedjono
magelang dan di tangani oleh dokter saraf yang kemudian di rujuk ke poli
Fisioterapi dan di berikan terapi dengan modalitas MWD dan terapi latihan.
3) Riwayat penyakit dahulu.
Riwayat penyakit dahulu pasien diketahui bahwa pasien
belum pernah mengalami trauma dan tidak ada riwayat diabetes mellitus.
4) Riwayat keluarga.
Riwayat keluarga diketahui hanya pasien yang menderita
penyakit tersebut dan tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita penyakit
yang sama.
2.
Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan
fisik yang merupakan pemeriksaan awal yang dilakukan pada pasien meliputi :
a. Pemeriksaan vital sign
Pemeriksaan vital sign yang
dapat diperoleh dari Pemeriksaan pada tanggal : (1) tekiri darah : 120/80 mmHg,
(2) denyut nadi : 88 kali/menit, (3) pernafasan : 20 kali/menit, (4) temperatur
: 36° C, (5) tinggi badan : 163 cm, (6) berat badan : 55 kg.
b. Inspeksi.
Hasil inspeksi yang dapat diperoleh
dari pengamatan terhadap pasien antara lain
melalui inspeksi statis adalah (1) keadaan umum pasien baik (wajah tidak pucat), (2) bahu simetris antara bahu
kiri dan kiri, (3) tidak tampak adanya oedem pada bahu kiri, (4) tidak ada
adanya atropi pada bahu kiri dan tidak ada warna kulit kemerah-merahan pada
bahu kiri. Inspeksi dinamis yang dapat diperoleh dari pemeriksaan antara lain
(1) pasien terlihat
kesakitan terutama
saat melakukan gerakan abduksi lebih dari 90 derajad, (2) ekspresi wajah pasien
terlihat menahan sakit saat lengan kirinya digerakkan.
c. Palpasi
Palpasi adalah pemeriksaan dengan cara
meraba, menekan dan memegang bahu penderita yang dikeluhkan. Dari pemeriksaan
ini didapatkan (1) tidak ditemukan
adanya oedem, (2) adanya spasme otot-otot sekitar sendi bahu terutama deltoid
anterior, (3) suhu lokal sendi bahu kiri normal.
d. Pemeriksaan kognitif,
interpersonal dan intrapersonal.
Pemeriksaan kognitif
yang diperoleh kognitif pasien baik karena mempunyai atensi yang baik dan mampu
mengorientasi waktu dan ruang. Intra personal pasien baik, pasien mampu
menerima keadaan dirinya saat ini dan mempunyai semangat dan motivasi untuk
sembuh. Interpersonal yang dimiliki pasien baik, karena pasien mampu
berkomunikasi dengan baik dan dapat mengikuti intruksi terapis dengan baik.
e. Pemeriksaan
kemampuan fungsional dan lingkungan aktivias
Pemeriksaan
kemampuan fungsional yang telah dilakukan adalah untuk mengetahui kemampuan
pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari, selain itu untuk mengetahui sebagaimana
ketergantungan pasien terhadap bantuan orang lain atau lingkungan sekitarnya
dalam melakukan aktifitas fungsional. Pemeriksaan kemampuan fungsional dan
lingkungan aktivitas meliputi
fungsional dasar diperoleh (1) pasien mampu miring, tengkurap dan bangun dari
tempat tidur tanpa bantuan, (2) pasien mampu melakukan gerakan aktif pada sendi
bahu kiri
dengan disertai nyeri, (3) pasien belum mampu bergerak full Lingkup Gerak Sendi
nya (LGS) pada sendi bahu kiri. Aktifitas fungsional pasien terganggu diantaranya
mengalami kesulitan saat melakukan aktifitas kesehariannya terutama yang
melibatkan bahu kiri diantaranya (1) menyisir rambut, (2) menggosok punggung
saat mandi, (3) memakai dan melepas baju, (4) mengambil benda yang berada
diatas. Lingkungan aktifitas dari pasien adalah lingkungan keluarga pasien yang
sangat mendukung kesembuhan pasien.
3. Pemeriksaan gerak dasar.
Pemeriksaan gerak yang dilakukan meliputi :
a.
Gerak aktif.
Dalam pemeriksaan gerak aktif, pasien
diminta untuk menggerakkan secara aktif bahunya kearah fleksi, ekstensi,
abduksi, adduksi, endorotasi, eksorotasi, elevasi, depresi, protraksi, retraksi
dan sirkumduksi. Dalam pemeriksaan ini diperoleh hasil (1) adanya rasa nyeri pada bahu kiri setiap akhir gerakan pada semua
arah gerak baik gerakan fleksi, ekstensi, endorotasi, eksorotasi, abduksi dan
adduksi sendi bahu, (2) adanya keterbatasan lingkup gerak sendi ke semua arah
gerak.
b. Gerak pasif.
Merupakan pemeriksaan gerak sendi bahu
yang dilakukan oleh fisioterapis kearah fleksi, ekstensi, eksorotasi,
endorotasi, sementara pasien dalam keadaan pasif dan rileks abduksi dan adduksi
horizontal dari hasil pemeriksaan ini diperoleh informasi berupa (1) adanya
rasa nyeri pada setiap akhir gerakan pada semua arah gerak baik gerakan fleksi,
ekstensi, endorotasi, eksorotasi, abduksi dan adduksi sendi bahu, (2) adanya
keterbatasan lingkup gerak sendi ke semua arah gerak, (3) rasa pada akhir
gerakan (end feel) sendi bahu ini adalah lunak terulur.
c.
Gerak
isometris melawan tahanan.
Pada
pemeriksaan gerak ini prinsipnya masih sama seperti pada pemeriksaan gerak
aktif pada sendi bahu ke segala arah hanya saja pada pemeriksaan gerak ini
masih ditambah dengan tahanan secara isometrik oleh terapis dan hasil yang
diperoleh adalah (1) pasien mampu
melakukan gerakan isometris melawan tahanan terapis tanpa timbul adanya nyeri,
(2) adanya penurunan kekuatan otot penggerak bahu kiri baik fleksor, ekstensor,
endorotator, eksorotator, abduktor dan adduktor sendi bahu.
4. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan khusus yang dilakukan untuk
memeriksa hal-hal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa ataupun dasar
penyusunan problematik, tujuan dan tindakan fisioterapi, antara lain sebagai
berikut :
a. Pemeriksaan derajat nyeri
Disini penulis
menggunakan verbale diskriptive scale (VDS) yaitu cara pengukuran
derajat nyeri dengan tujuh nilai yaitu : nilai 1 tidak nyeri, nilai 2 nyeri
sangat ringan, nilai 3 nyeri ringan, nilai 4 nyeri tidak begitu berat, nilai 5
nyeri cukup berat, nilai 6 nyeri berat, nilai 7 nyeri tak tertahankan. Dalam
pemeriksaan diperoleh informasi yang ditulis dalam tabel 3.1 di bawah ini.
TABEL 3.1
PEMERIKSAAN DERAJAT NYERI PADA SENDI BAHU KIRI DALAM SKALA VDS
Nilai
|
Keterangan
|
1
|
Tidak terasa nyeri
|
2
|
Nyeri sangat ringan
|
3
|
Nyeri ringan
|
4
|
Nyeri tidak begitu berat
|
5
|
Nyeri cukup berat
|
6
|
Nyeri berat
|
7
|
Nyeri tak tertahankan
|
Dari pemerikasaan di dapatkan data
|
b. Pemeriksaan lingkup gerak sendi (LGS)
Pemeriksaan ini dilakukan
untuk mengetahui adanya keterbatasan lingkup gerak sendi menggunakan alat yang
disebut dengan goneometer, dalam pelaksanaannya banyak hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan pengukuran diantaranya letak goneometer yang merupakan
aksis dari sendi bahu. Hasil pengukuran ditulis dengan standar International
Standard Orthopedic Measurement (ISOM). Cara penulisannya yaitu dimulai
dari gerakan yang menjauhi tubuh-posisi netral-gerakan mendekati tubuh.
Pemeriksaan lingkup gerak sendi bahu ini dilakukan dalm bidang gerak frontal
(F), sagital (S), tranversal (T) dan rotasi (R),
adapun hasil yang telah diperoleh seperti yang ditulis dalam tabel 3.2 di bawah
ini.
TABEL 3.2
PEMERIKSAAN LINGKUP GERAK SENDI BAHU KIRI
|
c. Appley
strech test
1)
Eksternal rotasi dan abduksi
Pasien diminta menggaruk
daerah sekitar angulus medialis scapula dengan tangan sisi kontra lateral
melewati belakang kepala. Pada penderita frozen shoulder akibat capsulitis
adhesiva biasanya tidak bisa melakukan gerakan ini. Bila pasien tidak dapat
melakukan karena adanya nyeri maka ada kemungkinan terjadi tendinitis rotator
cuff. Pada pemeriksaan ini didapatkan hasil bahwa tangan pasien tidak mampu
menyentuh angulus medialis scapula kiri dikarenakan adanya rasa nyeri pada
daerah bahu kirinya.
2) Internal rotasi dan adduksi
Pasien diminta untuk menyentuh
angulus inferior scapula dengan sisi kontralateral, bergerak menyilang
punggung. Pada penderita frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva
biasanya tidak bisa melakukan gerakan ini. Pada pemeriksaan ini didapatkan
hasil bahwa tangan pasien tidak mampu menyentuh angulus inferior scapula kiri
dikarenakan adanya rasa nyeri pada daerah bahu kirinya.
c. Joint play movement test
Pemeriksaan ini dilakukan
dengan melakukan gerakan transalasi (traksi, kompresi, dan gliding) secara
pasif untuk menggambarkan apa yang terjadi di dalam sendi ketika dilakukan
gerakan translasi. Pada frozen shoulder terjadi akibat capsulitis
adhesiva, pola keterbatasan gerak sendi bahu dapat menunjukkan pola yang
spesifik, yaitu pola kapsuler saat dilakukan pemeriksaan ini. Pola kapsuler
sendi bahu yaitu gerak eksorotasi paling nyeri dan terbatas kemudian diikuti
gerak abduksi dan endorotasi, atau dengan kata lain gerak eksorotasi lebih
nyeri dan terbatas dibandingkan dengan gerak endorotasi. Bila pada pemeriksaan
gerak eksorotasi ditemukan paling nyeri dan terbatas kemudian diikuti gerak
abduksi dan abduksi lebih terbatas daripada gerak endorotasi maka tes positif
adanya frozen shoulder dan terdapat pola kapsuler. Pada kasus ini
didapatkan hasil positif yaitu gerakan eksorotasi lebih terbatas dari gerak
abduksi dan lebih terbatas dari gerakan endorotasi. Pada frozen shoulder yang
diakibatkan capsulitis adhesiva kualitasa gerakan yang terjadi pada saat
menggerakkan bonggol sendi humerus terasa adanya suatu tahanan dari dalam, yang
dapat menyebabkan munculnya rasa nyeri dan keterbatasan LGS pada saat
menggerakkan sendi bahu.
Pada pemeriksaan ini
didapatkan adanya keterbatasan gerak humerus, slide keposterior, slide
keanterior dan slide ke caudal, yang artinya ada keterbatasan gerak kearah eksorotasi, endorotasi, abduksi, dan fleksi
yang berarti sesuai dengan pola kapsuler yaitu, eksorotasi>abduksi>endorotasi.
d.
Drop arm test/tes Mosley
Drop arm test bertujuan
untuk memeriksa adanya kerobekan dari rotator cuff terutama otot
supraspinatus. Dimana pasien disuruh mengabduksikan lengannya dalam posisi
lurus secara penuh, kemudian pasien disuruh menurunkannya secara perlahan-lahan
apabila pasien tidak bisa menurunkan dengan perlahan tapi lengan langsung jatuh
berarti tes positif.Pada Pemeriksaan ini didapatkan hasil negatif karena pasien
mampu menurunkan lengannya secara perlahan dan ini menunjukkan tidak adanya
kerobekan pada otot supraspinatus.
B. Tujuan Fisioterapi
Tujuan dari terapi yang akan dilaksanakan harus
berorientasi kepada problematik yang dialami pasien dari hasil pemeriksaan yang
telah dilakukan. Penulis mengklasifikasikan tujuan fisioterapi menjadi dua
kelompok yaitu :
1.
Tujuan jangka pendek
Tujuan jangka pendek ini merupakan tujuan yang bersifat
segera untuk dapat dicapai,yang merupakan
awal dari pemulihan aktifitas fumgsional, antara lain :
a.
Mengurangi nyeri sendi bahu
b. Mengurangi spasme pada otot sekitar bahu kiri
terutama deltoid, supra spinatus.
c.
Meningkatkan lingkup gerak
sendi bahu.
d. Meningkatkan kekuatan otot penggerak sendi
bahu.
2. Tujuan jangka panjang.
Adapun tujuan jangka panjang
yang merupakan tujuan akhir adalah melanjutkan tujuan jangka pendek dan mengembalikan
aktifitas fungsional seperti semula.
C. Pelaksanaan Fisioterapi
1.
Short Wave Diathermy (SWD)
a.
Persiapan alat
Pastikan mesin SWD dalam
kondisi baik. Sebelum terapi dilakukan dilakukan pengecekan kabel, pemilihan
elektroda, kabel elektroda tidak boleh kontak dengan lantai, pasien ataupun
bersilangan. Setelah semua dipastikan siap dan aman nyalakan SWD.
b.
Persiapan pasien
Sebelum dilakukan terapi kita
jelaskan terlebih dahulu tentang tujuan dan pemberian terapi. Pasien
diposisikan duduk senyaman mungkin. Sebelumnya diberikan tes sensibilitas rasa
panas dan dingin menggunakan tabung reaksi yang berisi air hangat dan dingin,
selain itu diperiksa daerah yang akan diterapi bebas dari logam. Selanjutnya
pasien diberi penjelasan terlebih dahulu mengenai prosedur terapi. Apabila
pasien merasa kepanasan segera memberi tahu terapis.
c.
Pelaksanaan terapi
Setelah persiapan alat dan pasien
telah selesai maka pelaksanaan terapi dapat dimulai. Disini penulis memilih
menggunakan elektroda yang biasanya dipakai adalah diplode
elektroda diletakkan pada bahu bagian anterior. Intensitas dinaikkan perlahan
sampai pasien merasakan hangat intensitas dinaikkan sesuai dengan toleransi
pasien. waktu ± 15 menit dan terapis harus tetap mengontrol keadaan pasien
selama terapi berlangsung untuk mencegah terjadinya terbakarnya kulit. Setelah
pelaksanaan terapi selesai turunkan
intensitas, matikan alat dan kembalikan alat pada keadaan semula.
2.
Terapi manipulasi
Terapi manipulasi dalam kasus frozen shoulder
terjadi akibat capsulitis adhesiva, dimana problem yang terjadi
merupakan keterbatasan gerak sendi pola kapsuler, pada kasus ini penanganan
yang diutamakan adalah keterbatasan lingkup gerak sendi dengan pola kapsuler.
a. Traksi latero ventro cranial
Posisi pasien
berbaring terlentang, posisi terapis berdiri di samping sisi yang akan
diterapi. Pelaksanaannya kedua tangan terapis memegang humerus sedekat mungkin
dengan sendi glenohumeral, kemudian melakukan traksi ke arah latero ventro
cranial. Lengan bawah pasien
rilek disangga lengan terapis, lengan bawah terapis yang berlainan mengarahkan
gerakan. Traksi diawali dengan grade I atau grade II, kemudian
dilanjutkan dengan traksi grade III. Traksi dilakukan secara perlahan.
Traksi mobilisasi dipertahankan selama ± 7 detik kemudian dilepaskan sampai grade
II kemudian dilakukan traksi grade III lagi. Prosedur tersebut dilakukan
6x pengulangan (Mudatsir, 2002).
Traksi
untuk mengurangi nyeri menggunakan traksi grade I atau traksi dalam grade II
tetapi tidak sampai terjadi slack taken up. Traksi untuk menambah
mobilitas sendi menggunakan grade III dengan cara meregangkan jaringan yang
memendek. Kedua traksi ini dilakukan pada resting position atau actual resting
position (Mudatsir, 2002).
Gambar 3. 1
Traksi latero ventro cranial (Kisner, 1996)
b. Slide ke arah postero lateral
Posisi
pasien berbaring terlentang, posisi terapis duduk di kursi menghadap pasien.
Pada pelaksanaannya kedua tangan terapis memegang bagian proksimal lengan atas,
siku pasien diletakkan pada bahu terapis kemudian terapis mendorong ke arah
postero lateral. Tujuan pemberian terapi ini adalah untuk memperbaiki gerak
endorotasi sendi bahu.
Gambar 3. 2
Slide ke arah postero lateral (Kisner, 1996)
c. Slide ke arah caudal
Posisi pasien
berbaring terlentang, lengan abduksi sebatas nyeri, posisi terapis berdiri di
samping sendi bahu pasien. Pelaksanaannya siku terapis ditekuk dan diposisikan
menempel pada tubuh terapis, sedangkan jari I dan II diletakkan pada daerah
caput humeri pasien, lengan terapis yang lain menyangga pada siku pasien dengan
fiksasi, terapis mendorong caput humeri ke arah caudal dengan dorongan dari
siku terapis yang menempel pada tubuh terapis dan dorongan bisa ditambah dengan
gaya berat badan. Tujuan pemberian terapi ini adalah untuk memperbaiki gerak
abduksi sendi bahu.
Gambar 3. 3
Slide ke arah caudal (Kisner, 1996)
d. Slide ke arah antero medial
Posisi
pasien berbaring terlentang, posisi terapis berdiri di samping sisi yang akan
diterapi. Pelaksanaan tangan terapis di letakkan pada bagian proksimal lengan
atas (sedekat mungkin dengan axilla). Lengan bawah pasien dijepit dengan lengan
terapis kemudian terapis menggerakakkan ke arah antero medial. Tujuan pemberian
terapi ini adalah untuk memperbaiki gerak eksorotasi sendi bahu.
Gambar 3. 4
Slide ke arah antero medial (Kisner, 1996)
Dalam
melakukan sliding selalu disertai dengan traksi grade I yang
tujuannya untuk menetralisir gaya kompresi yang ada pada sendi sehingga
mempermudah terjadinya sliding. Sliding dipertahankan selama ± 7 detik
kemudian secara perlahan dilepaskan dan istirahat ± 10 detik. Setiap satu arah gerakan dilakukan 6x pengulangan.
3.
Terapi latihan
Prinsip dasar dalam melakukan terapi latihan adalah
dengan dilakukan dengan tehnik yang benar, teratur, berulang-ulang dan
berkesinambungan.Laihan ini dilakukan sebatas toleransi nyeri dengan penambahan
intensitas latihan secara bertahap. Tujuan pemberian terapi latihan pada studi
kasus ini adalah untuk mengulur jaringan lunak sekitar sendi yang mengalami
pemendekan serta meningkatkan lingkup gerak sendi dan kekuatan otot serta
mengurangi nyeri, modalitas yang digunakan penulis antara lain :
a.
Active exercise
Posisi pasien berdiri,
posisi terapis berdiri di samping pasien. Pelaksanaan pasien diminta
menggerakkan sendi bahu perlahan ke segala arah sampai batas toleransi nyeri
yang dirasakan pasien. Gerakan ini bisa di sesuaikan dengan dimodifikasi sesuai
AKS yang sering dilakukan pasien. Setiap satu arah
gerakan dilakukan 8x pengulangan.
4.
Edukasi
Edukasi yang diberikan pada pasien dengan kondisi frozen
shoulder akibat capsulitis adhesiva antara lain : (1) pasien diminta
melakukan kompres panas (jika pasien tahan) ± 15 menit pada bahu yang sakit
untuk mengurangi rasa nyeri yang timbul, (2) pasien dianjurkan agar tetap
meggunakan lengannya dalam batas toleransi pasien untuk menghindari posisi
immobilisasi yang lama yang dapat memperburuk kondisi frozen shoulder,
(3) latihan sesuai metode Codman pendular exercise di rumah dengan beban
minimal dan dapat ditambah secara bertahap, (4) latihan merambatkan jari lengan
yang sakit ke dinding (walking finger), (5) menghindari posisi menetap
yang lama yang dapat memicu rasa nyeri, (6) latihan dengan handuk, posisi
lengan seperti huruf “S” terbalik kedua
lengan memegang handuk kemudian bahu yang sehat menarik ke atas sampai lengan
yang sakit tertarik, (7) latihan penguatan dengan prinsip Codman pendular
exercise yang dilakukan di dalam kolam atau bak mandi dengan melawan
tahanan air.
D. Evaluasi dan Tindak Lanjut
1.
Evaluasi
Evaluasi yang telah disusun
dengan kriteria dan parameternya. Diantara tujuan evaluasi adalah untuk
mengetahui tingkat keberhasilan terapi dan tujuan yang diharapkan menetapkan
perlu tidaknya modifikasi atau merujuk ke tenaga kesehatan lain. Evaluasi dilakukan
setelah intervensi dilakukan. Adapun komponen-komponen yang perlu dilakukan
evaluasi dalam kasus frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva,
antara lain : (1) nyeri pada sekitar sendi bahu dengan VDS, (2) lingkup gerak
sendi pada sendi bahu menggunakan goneometer.
3. 5HASIL EVALUASI DERAJAT NYERI BAHU KIRI DALAM SKALA VDS
No
|
Keterangan pemeriksaan
|
Nilai
|
Keterangan hasil pemeriksaan
|
1
|
Nyeri Gerak
|
2
|
Nyeri Tidak Begitu Berat
|
2
|
Nyeri Diam
|
1
|
Tidak Nyeri
|
3
|
Nyeri Tekan
|
1
|
Tidak Nyeri
|
Disini hasil evaluasi pada nyeri gerak ini cenderung kearah tidak nyeri(1).
3. 6 HASIL EVALUASI LINGKUP GERAK SENDI
BAHU KIRI
|
3. 8HASIL EVALUASI KEMAMPUAN FUNGSIONAL BAHU KIRI
(DISABILITY
SCALE)
No
|
Aktifitas
|
T1
|
T2
|
1
|
Mencuci rambut (keramas)
|
7
|
4
|
2
|
Menggosok punggung saat mandi
|
6
|
10
|
3
|
Memakai dan melepas kaos dalam (T-shirt)
|
10
|
5
|
4
|
Memakai kemeja berkancing
|
4
|
2
|
5
|
Memakai celana
|
3
|
2
|
6
|
Mengambil benda di atas
|
7
|
6
|
7
|
Mengangkat benda berat (lebih dari 10 pounds)
|
6
|
9
|
8
|
Mengambil benda di saku belakang celana
|
7
|
2
|
JUMLAH
|
50
|
42
|
BAB IV
PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penetalaksanaan
fisioterapi pada pasien ini ternyata didapatkan hasil yang cukup baik
dibandingkan dengan saat sebelum dilakukan tindakan fisioterapi. Hasil
peningkatan tersebut dapat dilihat dari hasil pemeriksaan sebagai berikut
A. Penurunan Derajat Nyeri pada Bahu Kanan
Seperti yang tertera dalam rumusan masalah dan tujuan
penulisan, apakah dengan pemberian Short Wave Diathermy dapat mengurangi nyeri pada kasus frozen
shoulder akibat capsulitis adhesiva atau tidak dan setelah dilakukan
evaluasi dengan skala VDS maka dapat dilihat bahwa adanya penurunan derajat
nyeri seperti yang ditunjukkan pada grafik 4.1 di atas.
Tujuan penerapan SWD disini adalah untuk mengurangi
nyeri pada bahu yaitu dengan pemberian efek termal yang diberikan akan
memberikan efek sedatif yang dapat meningkatkan ambang rangsang nyeri juga
dapat meningkatkan elastisitas jaringan lunak disekitar sendi, terjadinya
vasodilatasi yang kemudian meningkatkan sirkulasi darah sehingga dapat
mengurangi nyeri dengan adanya pembuangan zat kimiawi penyebab nyeri
(Michlovitz, 1990)
B. Peningkatan Luas Gerak Sendi Bahu Kiri
Dari grafik 4.2 di atas menunjukkan adanya peningkatan
lingkup gerak sendi baik saat gerak aktif maupun pasif.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pasien dengan namaNy. Suprapti dengan
diagnosa Frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva dextra dengan
keluhan utama nyeri pada bahunya
disertai dengan keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS) pada bahu. Dengan
keadaan seperti ini pasien merasa sangat mengganggu aktivitas kesehariannya
Dengan beracuan dengan permasalahan tersebut penulis
mencoba memberikan program fisioterapi dengan modalitas short wave diathermy,
terapi manipulasi dengan pemberian traksi dan slide pada sendi bahu tangan
dengan ditambah terapi latihan menggunakan active exercise, dengan
tujuan untuk mengatasi problematik yang muncul pada pasien ini dengan program
dua kali terapi. Setelah diberikan program fisioterapi selama dua kali pertemuan
diperoleh hasil yang cukup baik hal ini dapat dilihat dari: 1) penurunan nyeri
dilihat dari evaluasi VAS LGS sendi bahu juga mengalami kenaikan baik pada
gerak aktif maupun pasif, gerak aktif yang sebelumnya
B. Saran
Pada kasus frozen shoulder akibat capsulitis
adhesiva ini dalam pelaksanaannya sangat dibutuhkan kerjasama antara
terapis dengan penderita dengan bekerjasama dengan tim medis lainnya, agar
tercapai hasil pengobatan yang maksimal. Selain itu hal-hal lain yang harus
diperhatikan antara lain :
a.
Bagi penderita disarankan untuk
melakukan terapi secara rutin, serta melakukan latihan-latihan yang jenis
modalitas fisioterapi yang tepat dan efektif buat penderita, selain itu
fisioterapis hendaknya meningkatkan ilmu pengetahuan serta pemahaman terhadap
hal-hal yang berhubungan dengan studi kasus karena tidak menutup kemungkinan
adanya terobosan baru dalam suatu pengobatan yang membutuhkan pemahaman lebih
lanjut.
b.
Bagi keluarga pasien disarankan
agar terus memberikan motivasikepada pasien agar mau latihan di rumah dan ikut
mengawasi pasien dalam berlatih.
c.
Bagi masyarakat disarankan jika
tiba-tiba merasakan nyeri hebat pada bahu dan keterbatasan gerak pada bahu
segera memeriksakan diri ke dokter karena ditakutkan timbulnya masalah baru dan
dapat memperlama proses penyembuhan itu sendiri.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka
diharapkan nantinya memberikan hasil yang lebih baik bagi penyembuhan penderita
frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva.